e shtunë, 16 qershor 2007

Kembali ke Pohon

Lindungi Pepohonan dari kepunahan

Judul di atas mungkin sering kalian dengar dari celotehan seorang komedian berkumis lele atau yang dikenal dengan nama Tukul Arwana. Baginya ungkapan tersebut berfungsi sebagai bahan lawakan yang mudah diingat oleh para. Namun ungkapan tersebut juga berfungsi sebagai teguran bagi kita untuk selalu mengingat apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar kita.
Indonesia adalah negara jamrud khatulistiwa. Terlihat sangat hijau dan asri bila dilihat dari atas angkasa. Sebutan ini merupakan sebuah kebanggaan bagi semua warga negara di seluruh pelosok negeri ini. Itu semua adalah anugrah dari Alloh SWT yang menjadikan negara Indonesia ditumbuhi subur oleh pepohonan. Rindangnya hutan Kalimantan menjadikan salah satu pulau terbesar di Indonesia ini di juluki paru-parunya dunia. Namun sebutan jamrud khatulistiwa itu mulai terasa hampa dikarenakan hutan di Indonesia mulai mengalami kerusakan akibat pembalakan hutan secara illegal (illegal logging) oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab.
Pembalakan hutan secara liar tidak hanya terjadi pada hutan Kalimantan saja. Hal tersebut hampir terjadi di seluruh pelosok Indonesia. Mulai dari pulau Sumatera, Jawa bahkan sampai pulau Papua yang terkenal dengan hutan tropisnya. Pohon-pohon yang ditebang secara liar tersebut, kabarnya berjumlah hampir ribuan. Bahkan lahan bekas penambangan saja mencapai ratusan hektar. Belum lagi dengan kebakaran hutan yang kian banyak terjadi. Seiring dengan hilangnya pepohonan di berapa wilayah di Indonesia, munculah berbagai bencana yang merundung negeri ini.
Hilangnya Pepohonan di Perkotaan.
Hilangnya pepohonan rupanya tidak hanya terjadi di wilayah hutan saja. Tapi fenomena itu juga terjadi di beberapa perkotaan. Contoh yang bisa dilihat adalah kota Jakarta. Seiring dengan pembangunan kota Jakarta yang meningkat tajam, ternyata menimbulkan dampak yang berarti bagi wilayah hijau di kota tersebut. Hilangnya pepohonan menimbulkan hilangnya resapan air hujan dan hilangnya filter polusi oleh udara-udara yang tercemar.
Bencana Banjir dan Longsor
Bencana banjir dan tanah longsor adalah bencana yang terjadi bukan hanya karena faktor alamiah alam, namun lebih banyak karena campur tangan manusia. Bencana banjir dan tanah longsor merupakan bencana yang “bisa direncanakan”. Penebangan yang diikuti dengan tanah longsor pada akhirnya menjadi ‘senjata pemusnah massal’ yang sangat mengerikan.
Salah satu contoh bencana banjir dan tanah longsor menurut data Walhi, terjadi di daerah Bukit Lawang, Sumatera Utara pada 2003 lalu. Menurut saksi mata, masyarakat yang tidak mau disebutkan namanya di lokasi kejadian mengatakan bahwa potongan-potongan kayu tersebut berasal dari perambahan kayu liar yang dilakukan di dalam TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser) wilayah Bahorok Hal yang sama juga terjadi Mandalawangi di Garut. Bencana tersebut menewaskan tidak kurang dari 15 orang dan puluhan rumah rusak berat. Longsor terjadi karena rusaknya hutan sebagai wilayah penyangga.
Bencana Banjir dan Longsor di Indonesia (1998-2003)


Jenis
Jumlah Kejadian
Korban Jiwa
Kerugian (juta rupiah)
Banjir
302
1066
191.312
Longsor
245
645
13.928
Jumlah
547
1411

Sumber: Bakornas PB
Hijaukan Kembali dengan Pohon
Dari berbagai fakta yang ada jelas terlihat bahwa bencana besar yang terjadi tidak serta merta datang, namun didahului oleh adanya eksploitasi lingkungan, adanya kebijakan yang tidak memenuhi aspirasi masyarakat, serta tidak adanya managemen bencana dari pemerintah. Bencana-bencana tersebut seharusnya tidak perlu terjadi dan bisa diminimalisir oleh pemerintah seandainya pemerintah berbesar hati untuk tidak mencampakkan alam dengan dalih kebijakan pembangunan atau devisa. Sungguh bencana tersebut adalah bencana yang terencana.
Dengan momen yang tepat di Hari Lingkungan Hidup pada 5 Juni lalu, kita sebagai pemuda bisa menjadi pelopor untuk berpikir dan bertindak mencari solusi. Salah satu solusi yang tepat adalah mengajak pemerintah dan masyarakat termasuk yang berada di perkotaan, dalam upayanya menghijaukan kembali lingkungan Indonesia. Contohnya dengan melakukan program penghijauan dan penanaman kembali pepohonan di wilayah yang membutuhkannya. Dengan begitu kita bisa mengembalikan sebutan Jamrud Katulistiwa ke negara kita. Jadi, catet ye…kembali ke pohon bukan untuk jadi si “nying-nying” atau “mon-mon”, tapi itu semua untuk kembali ke alam sebagai rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa karena titipannya untuk alam yang indah ini. (Fadli)

Nuk ka komente: